Soal No.2 : Bagaimana ekonmi islam menghindarkan dari ketidakadilan dalam mencapai kesejahteraan manusia?
Allah berfirman dalam Al-quran: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pengajaran” (QS An-Nahl{16}:90). Dalam kitab Al-Quran digunakan beberapa istilah yang digunakan untuk mengungkapkan makna keadilan. Lafad-lafad dan ayat-ayat tersebut jumlahnya banyak dan berulang-ulang. Diantaranya lafad “al-adl” dalam Al-quran dalam berbagai bentuk terulang sebanyak 35 kali. Lafad “al-qisth” terulang sebanyak 24 kali. Lafad “al-wajnu” terulang sebanyak 23 kali. Dan lafad “al-wasth” sebanyak 5 kali (Muhamad Fu`ad Abdul Bagi dalam Mu`jam Mupathos Lialfaadhil Qur`an).
Dr. Hamzah Yakub membagi keadilan-keadilan menjadi dua bagian. Adil yang berhubungan dengan perseorangan dan adil yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Adil perseorangan adalah tindakan memihak kepada yang mempunyai hak, bila seseorang mengambil haknya tanpa melewati batas, atau memberikan hak orang lain tanpa menguranginya itulah yang dinamakan tidak adil. Adil dalam segi kemasyarakatan dan pemerintahan misalnya tindakan hakim yang menghukum orang-orang jahat atau orang-orang yang bersengketa sepanjang neraca keadilan. Jika hakim menegakan neraca keadilanya dengan lurus dikatakanlah dia hakim yang adil dan jika dia berat sebelah maka dipandanglah dia zalim. Pemerintah dipandang adil jika dia mengusahakan kemakmuran rakyat secara merata, baik di kota-kota maupun di desa-desa.
Allah berfirman dalam Al-Quran: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang menegakan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap satu kaum, mendorong untuk kamu berbuat tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Al-Maidah [5]:8). Keadilan adalah ketetapan Allah bagi alam raya ciptaan-Nya, karena menurut ajaran Islam keadilan adalah prinsip yang merupakan hukum seluruh hajat raya. Oleh karenanya melanggar keadilan adalah melanggar hukum alam dan dosa ketidak adilan akan mempunyai dampak kehancuran tatanan masyarakat manusia (Nurcholish Majid).
Sebagai gambaran dari keadilan Rasululah saw memberi contoh kepada kita, kalau beliau ingin pergi jauh beliau undi antara isteri-isterinya. Siapa yang kena undian maka itulah yang dibawanya. Sebagai kepala negara dan hakim, beliau selalu menerapakan keadilan dengan betul, hingga beliau pernah menyatakan: “Jika sekiranya Fatimah binti Muhamad mencuri, niscaya aku potong tangannya”. (HR. Bukhori).
Ada beberapa faktor yang menunjang keadilan, diantaranya:
- Tentang di dalam mengambil keputusan. Tidak berat sebelah dalam tindakan
karena pengaruh hawa nafsu, angkara murka ataupun karena kecintaan kepada seseorang. Rasululah saw dalam salah satu sabdanya mengingatkan agar janganlah seorang hakim memutuskan perkara dalam keadaan marah. Emosi yang tidak stabil biasanya seseorang tidak adil dalam putusan.
- Memperluas pandangan dan melihat persoalannya secara obyektif. Mengumpulkan data dan fakta, sehingga dalam keputusan seadil mungkin.
Jika adil adalah sifat dan sikap Fadlilah (utama) maka sebagai kebalikannya adalah sikap zalim. Zalim berarti menganiaya, tidak adil dalam memutuskan perkara, berarti berat sebelah dalam tindakan, mengambil hak orang lain lebih dari batasnya atau memberikan hak orang lain kurang dari semestinya. Sikap zalim itu diancam Allah dalan firmannya: “Tidakkah bagi orang zalim itu sahabat karib atau pembela yang dapat ditakuti”. (Al-mu`min: 18). Dalam ayat lain Allah berfirman lagi : “Dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun”.(Ali Imran[3] : 192).
Dalam hal ini, ahli-ahli akhlak mengemukakan hal-hal yang mendorong seseorang berlaku zalim:
- Cinta dan benci. Barang siapa yang mencintai seseorang, biasanya ia berlaku berat sebelah kepadanya. Misalnya orang tua yang karena cinta kepada anak-anaknya, maka sekalipun anaknya salah, anak itu dibelanya. Demikian pula kebencian kepada seseorang, menimbulkan satu sikap yang tidak lagi melihat kebaikan orang itu, tetapi hanya menonjolkan kesalahannya.
- Kepentingan diri sendiri. Karena perasaan egois dan individualis, maka
keuntungan pribadi yang terbayang menyebabkan seseorang berat sebelah,
curang dan culas.
- Pengaruh luar. Adanya pandangan yang menyenangkan, keindahan pakaian,
kewibawaan, kepasihan pembicaraan dan sebagainya dapat mempengaruhi seseorang berat sebelah dalam tindakannya. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat menyilaukan perasaan sehingga langkahnya tidak obyektif.
Oleh karena itulah, bisa disimpulkan bahwa keadilan dan kezaliman bisa muncul karena adanya beberapa faktor, diantaranya:
- Kondisi orang tersebut pada saat itu
- Luas dan sempitnya pengetahuan yang dimiliki
- Latar belakan cinta dan benci
- Terdorong oleh kepentingan sendiri atau golongan
- Adanya pengaruh dari luar (extern)
Teori keadilan dalam filsafat hukum Islam
- a. Keadilan ilahiyah: dialektika muktazilah dan asy’ariah
Gagasan Islam tentang keadilan dimulai dari diskursus tentang keadilan ilahiyah, apakah rasio manusia dapat mengetahui baik dan buruk untuk menegakkan keadilan dimuka bumi tanpa bergantung pada wahyu atau sebaliknya manusia itu hanya dapat mengetahui baik dan buruk melalui wahyu (Allah). Pada optik inilah perbedaan-perbedaan teologis di kalangan cendekiawan Islam muncul. Perbedaan-perbedaan tersebut berakar pada dua konsepsi yang bertentangan mengenai tanggung jawab manusia untuk menegakkan keadilan ilahiah, dan perdebatan tentang hal itu melahirkan dua mazhab utama teologi dialektika Islam yaitu: mu`tazilah dan asy`ariyah.
Pemikiran dasar Mu`tazilah adalah bahwa manusia, sebagai yang bebas, bertanggung jawab di hadapan Allah yang adil. Selanjutnya, baik dan buruk merupakan kategori-kategori rasional yang dapat diketahui melalui nalar yaitu, tak bergantung pada wahyu. Allah telah menciptakan akal manusia sedemikian rupa sehingga mampu melihat yang baik dan buruk secara obyektif. Ini merupakan akibat wajar dari tesis pokok mereka bahwa keadilan Allah tergantung pada pengetahuan obyektif tentang baik dan buruk, sebagaimana ditetapkan oleh nalar, apakah sang Pembuat hukum menyatakannya atau tidak. Dengan kata lain, kaum Mu`tazilah menyatakan kemujaraban nalar naluri sebagai sumber pengetahuan etika dan spiritual, dengan demikian menegakkan bentuk obyektivisme rasionalis.
Kaum Asy`ariah menolak gagasan akal manusia sebagai sumber otonomi pengetahuan etika. Mereka mengatakan bahwa baik dan buruk itu adalah sebagaimana Allah tentukan, dan adalah angkuh untuk menilai Allah berdasarkan kategori-kategori yang diberikan-Nya untuk mengarahkan kehidupan manusia. Bagi kaum Mu`tazilah tidak ada cara, dalam batas-batas logika biasa, untuk menerangkan hubungan kekuasaan Allah dengan tindakan manusia. Lebih realistis untuk mengatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan hasil kehendak-Nya, tanpa penjelasan atau pembenaran. Namun, penting untuk membedakan antara tindakan manusia yang bertanggung jawab dan gerakan–gerakan yang dinisbahkan kepada hukum-hukum alam. Tanggung jawab manusia bukan merupakan hasil pemilihan bebas, suatu fungsi yang, menurut Mu`tazilah, menentukan cara bertindak yang dihasilkan. Namun hanya Allah semata-mata yang menciptakan segala tindakan secara langsung. Tetapi, dalam beberapa tindakan, suatu kualitas tindakan sukarela digantikan kehendak Allah, yang menjadikan seseorang sebagai wakil sukarela dan bertanggung jawab. Karenanya, tanggung jawab manusia merupakan hasil kehendak ilahiah yang diketahui melalui bimbingan wahyu. Kalau tidak, nilai-nilai tidak memiliki dasar selain kehendak Allah yang mengenai nilai-nilai itu.
Konsepsi Asy`ariah tentang pengetahuan etika ini dikenal sebagai subyektivisme teistis, yang berarti bahwa semua nilai etika tergantung pada ketetapan-ketetapan kehendak Allah yang diungkapkan dalam bentuk wahyu yang kekal dan tak berubah. Kedua pendirian teologis tersebut berdasarkan pada penafsiran ayat-ayat Al-Quran, yang mempunyai pandangan kompleks tentang peranan tanggung jawab manusia dalam mewujudkan kehendah ilahiah di muka bumi. Di satu pihak, al-Quran berisikan ayat-ayat yang mendukung penekanan Mu`tzilah pada tanggung jawab penuh manusia dalam menjawab panggilan bimbingan alamiah maupun wahyu. Di lain pihak, juga memiliki ayat-ayat yang dapat mendukung pandangan Asy`ariah tentang kemahakuasaan Allah yang tak memberi manusia peranan dalam menjawab bimbingan ilahiah. Betapapun, Al-Quran mempertimbangkan keputusan dan kemahakuasaan ilahiah dalam masalah bimbingan.
Sesungguhnya, konsep bimbingan natural atau universal mempunyai implikasi-implikasi yang lebih luas daripada mempertunjukkan eksistensi kapasitas kemauan dalam jiwa manusia11, dan membuktikan tanggung jawab manusia dalam mengembangkan pengertian tajam persepsi moral dan spiritual serta motivasi, yang akan membawa kepada penegakan keadilan di muka bumi. Nampak bahwa Al-Quran menganggap manusia seluruhnya sebagai satu bangsa berhubung dengan bimbingan unuversal sebelum bimbingan khusus melalui para Nabi diturunkan, dan dengan demikian menganggap mereka semua secara bersama-sama bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan:
“Manusia adalah umat yang satu; maka Allah mengutus para Nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Ia menurunkan bersama mereka Kitab denga benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.”
Karena itu, penting untuk menekankan dalam konteks al-Quran, bahwa gagasan keadilan teistis menjadi relevan dengan mapannya tatanan sosial, karena secara logis membangkitkan keadilan obyektif universal yang mendarah daging dalam jiwa manusia. Dalam satu ayat yang sangat penting artinya, Al-Quran mengakui watak obyektif dan universalitas keadilan yang disamakan dengan perbuatan-perbuatan baik (kebajikan-kebajikan moral), yang mengatasi masyarakat-masyrakat agama yang berlainan dan memperingatkan umat manusia untuk “tampil dengan perbuatan-perbuatan baik:
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu (umat religius) Kami berikan aturan dan jalan (tingkah laku). Apabila Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (berdasarkan pada aturan dan jalan itu), tetapi, (ia tidak melakukan demikian). Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Oleh karena itu, berlomba-lombalah (yaitu, bersaing satu samalain) dalam berbuat baik. Karena Allah-lah kamu semua akan kembali, lalu Ia akan memberitahukan kepadamu (kebenaran) mengenai apa yang kamu perselisihkan itu.”.
Terhadap suatu asumsi yang jelas dalam ayat ini bahwa semua umat manusia harus berusaha keras menegakkan suatu skala keadilan tertentu, yang diakui secara obyektif, tak soal dengan perbedaan keyakinan-keyakinan religius. Cukup menarik, manusia yang idael disebutkan sebagai menggabungkan kebajikan moral tersebut dengan kepasrahan religius yang sempurna. Bahkan, “barangsiapa menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat baik, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya, dan tidak ada kekhawatiran bagi mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati”.14
- b. Maqashid syariah: cita keadilan sosial hukum Islam
Salah satu konsep penting dan fundamental yang menjadi pokok bahasan dalam filasafat hukum Islam adalah konsep maqasid at-tasyri’ atau maqasid al-syariah yang menegaskan bahwa hukum Islam disyari’atkan untuk mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia. Konsep ini telah diakui oleh para ulama dan oleh karena itu mereka memformulasikan suatu kaidah yang cukup populer,”Di mana ada maslahat, di sana terdapat hukum Allah. Teori maslahat di sini menurut Masdar F. Masudi sama dengan teori keadilan sosial dalam istilah filsafat hukum.
Adapun inti dari konsep maqasid al-syariah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak mudarat, istilah yang sepadan dengan inti dari maqasid al-syari’ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat. Untuk memahami hakikat dan peranan maqasid al-syari’ah, berikut akan diuraikan secara ringkas teori tersebut. Imam al-Haramain al-Juwaini dapat dikatakan sebagai ahli teori (ulama usul al-fiqh) pertama yang menekankan pentingnya memahami maqasid al-syari’ah dalam menetapkan hukum Islam. Ia secara tegas mengatakan bahwa seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia memahami benar tujuan Allah mengeluarkan perin-tah-perintah dan larangan-larangan-Nya.
Kemudian al-Juwaini mengelaborasi lebih jauh maqasid al-syari’ah itu dalam hubungannya dengan illat dan dibedakan menjadi lima bagian, yaitu: yang masuk kategori daruriyat (primer), al-hajat al-ammah (sekunder), makramat (tersier), sesuatu yang tidak masuk kelompok daruriyat dan hajiyat, dan sesuatu yang tidak termasuk ketiga kelompok sebelumnya. Dengan demikian pada prinsipnya al-Juwaini membagi tujuan tasyri’ itu menjadi tiga macam, yaitu daruriyat, hajiyat dan makramat (tahsiniyah). Pemikiran al-Juwaini tersebut dikembangkan oleh muridnya, al-Gazali. Al-Gazali menjelaskan maksud syari’at dalam kaitannya dengan pembahasan tema istislah. Maslahat menurut al-Gazali adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kelima macam maslahat di atas bagi al-Gazali berada pada skala prioritas dan urutan yang berbeda jika dilihat dari sisi.
Konsep maqasid al-syari’ah atau maslahat yang dikembangkan oleh al-Syatibi di atas sebenarnya telah melampaui pembahasan ulama abad-abad sebelumnya. Konsep maslahat al-Syatibi tersebut melingkupi seluruh bagian syari’ah dan bukan hanya aspek yang tidak diatur oleh nas. Sesuai dengan pernyataan al-Gazali, al-Syatibi merangkum bahwa tujuan Allah menurunkan syari’ah adalah untuk mewujudkan maslahat. Meskipun begitu, pemikiran maslahat al-Syatibi ini tidak seberani gagasan at-Tufi. Pandangan at-Tufi mewakili pandangan yang radikal dan liberal tentang maslahat. At-Tufi berpendapat bahwa prinsip maslahat dapat membatasi (takhsis) Alquran, sunnah dan ijma’ jika penerapan nas Alquran, sunnah dan ijma’ itu akan menyusahkan manusia.
Hukum haruslah didasarkan pada sesuatu yang harus tidak disebut hukum, tetapi lebih mendasar dari hukum. Yaitu sebuah sistem nilai yang dengan sadar dianut sebagai keyakinan yang harus diperjuangkan: maslahat, keadilan. Proses pendasaran hukum atas hukum hanya bisa dimengerti dalam konteks formal, misalnya melalui cara qiyas. Akan tetapi, seperti diketahui, qiyas haruslah dengan illat, sesuatu yang lebih merupakan patokan hukum, bukan hukum itu sendiri. Akan tetapi itulah struktur pemikiran hukum Islam selama ini. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila dunia pemikiran hukum Islam ditandai oleh ciri dan watak yang sangat patut dipertanyakan.34 Tidak mengherankan apabila wajah fiqh selama ini tampak menjadi dingin, suatu wajah fiqh yang secara keseluruhan kurang menunjukkan pemihakan (engagement) terhadap kepentingan masyarakat manusia
Soal No.11 : Jelaskan mengapa konsep pajak pemikiran abu yusuf lebih maslahat?
- Ø Abu Yusuf dalam Lintasan sejarah
Dalam literatur Islam Abu Yusuf sering disebut dengan Imam Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim bin Habib al-anshari al-jalbi al-Kufi al-Baghdadi yang dilahirkan pada tahun 113 H dan wafat pada tahun 182 H. Ia hidup pada masa transisi dua zaman kekhalifahan besar, yaitu akhir masa Dinasti Umayyah dan Abasiyyah. Ia memiliki minat yang besar terhadap ilmu, hal ini dibuktikannya dengan banyaknya kajian ia pahami. Pendidikannya dimulai dari belajar hadits dari bebearapa tokoh. Ia juga ahli dalam bidang fiqh. Berkaitan denagn ini Abu Hanifah membiayai seluruh keperluan pendidikannya, bahkan biaya hidup keluarganya. Meskipun ia sebagai murid Abu hanifah, ia tidak sepenuhnya mengambil pendapat Abu Hanifah.
Sedangkan latar belakang pemikirannya tentang ekonomi, setidaknya dipengaruhi beberapa faktor, baik intern maupun ekstern. Faktor intern muncul Faktor ekstern, adanya system pemerintahan yang absolute dan terjadinya pemberontakan masyarakat terhadap kebijakan khalifah yang sering menindas rakyat. Ia tumbuh dalam keadaan politik dan ekonomi kenegaraan yang tidak stabil, karena antara penguasa dan tokoh agama sulit untuk dipertemukan. Dengan setting social seperti itulah Abu Yusuf tampil dengan pemikiran ekonomi al-Kharaj.
Landasan Berfikir dan Visi ekonomi
Melihat carakerja dan analisis Abu Yusuf dalam kitab al-kharaj, kiranya dapat dikatakan ia lebih banyak mengedepankan ra’yu dengan menggunkan perangkat Qiyas dalam upaya mencapai kemaslahatan ammah sebagai tujuan akhir hukum. Hal ini terlihat dare penyelesaian kasuistik yang terjadi padamasanya. Hal ini terlihat ia selalu merujuk pada al-Qur’an, dan juga haditshadits Ittisal as-Sanad, Atsar-atsar Sahabi dan dilanjutkan pendapat baru yang sejalan dengan pola piker baru yang merupakan ruh dare cara kerja mazhab Hanafi.
System ekonomi yang dikehendaki oleh Abu yusuf adalah satu upaya untuk mencapai kemaslahatan ummat. Kemaslahatan ini didasarkan pada al-Qur’an, al-Hadits, maupun landasan-landasan lainnya. Hal inilah yang nampak dalam pembahasannya kitab al-Kharaj. Kemaslahatan yang dimaksud oleh Abu Yusuf adalah, yang dalam termiologi fiqh disebut dengan Maslahah/kesejahteraan, baik sifatnya individu (mikro) maupun (makro) kelompok. Secara mikro juga diharapkan bahwa manusia dapat menikmati hidup dalam kedamaian dan
ketenangan dalam hubungan interaksi social antar sesam, dan diatur dengan tatanan masyarakat yang saling menghargai antar masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Ukuran maslahah, menurut Abu Yusuf dapat diukur dari beberapa aspek, yaitu keseimbangan, (tawazun), kehendak bebas (al-Ikhtiar), tanggung jawab/keadilan (al-‘adalah)/accountability), dan berbuat baik (al-Ikhsan). Jika konsepsi maslahah yang dipakai oleh Abu yusuf adalah konsepsi As-Syatibi, maka teori analalisis ekonominya dikategorikan sebagai bentuk dari al_maslahah al-Mu’tabarah.
Semua mekanisme dan ukuran kemaslahatan Abu Yusuf berpangkal dari al-Qur’an dan as sunnah yang menjadi pijakan utama untuk melahirkan konsep tauhid yang merupakan komitmen total terhadap semua kehendak Allah, dan menjadikannya sebagai nilai dan semua tindakan manusia. Dengan visi kesejahteraan (maslahah) inilah Abu Yusuf dapat memberi sumbangan besar bagi kesejahteraan dan keadilan kestabilan ekonomi pada zaman keemasan Islam/Dinasti ‘Abasiyyah (periode Harun al-Rasyid).
Tentang kitab al-Kharaj
Al-kharaj merupakan kitab pertama yang menghimpun semua pemasukan Daulah Islamiyyah yang pos-pos pengeluarannya berdasarkan pada kitabullah, al-Qur’an dan sunnah Rasul. Dalam penghimpunan zakat dan pemasukan lainnya, penguasa dinasehati agar memilih orang-orang yang dapat dipercaya, teliti dan kritis. Ini semua diharapkan agar proses penghimpunannya bebas dari segala kebocoran, sehingga hasil optimal dapat direalisasikan bagi kemaslahatan warga negara.
Penamaan al-Kharaj terhadap kitab ini, dikarenakan memuat beberapa persoalan pajak, jiz’ah, serta masalah-masalah pemerintahan. Kitab al-Kharaj mencakup berbagai bidang, antara lain :
- Tentang pemerintahan, seoarng khalifah adalah wakil Allah di bumi untuk melaksanakan Perintah-Nya. Dalam hubungan hak dan tanggung jawab manuthum bi al-Maslahah.
- Tentang keuangan; uang negara bukan milik khalifah tetapi amanat Allah dan rakyatnya yang harus dijaga dan penuh tanggung jawab.
- Tentang pertanahan; tanah yang diperoleh dari pemberian dapat ditarik kembali jika tidak digarap selama tiga tahun dan diberikan kepada yang lain.
- Tentang perpajakan ; pajak hanya ditetapkan pada harta yang melebihi kebutuhan rakyat yang ditetapkan berdasarkan pada kerelaan mereka.
- Tentang peradilan; hukum tidak dibenarkan berdasarkan hal yang yang subhat. Kesalahan dalam mengampuni lebih baik dari pada kesalahan dalam menghukum. Jabatan tidak boleh menjadi bahan pertimbangan dalam persoalan keadilan.
Kebijkan Strategis Abu Yusuf
Di bawah kekuasaan Harun al-rasyid, isu al-Kharaj menjadi topic yang sangat actual dibicarakan para intelektual bagdad. Kecermelangan pikirnya, yang mampu memadukan agama, tradisi dan budaya dalam menyikapi permasalahan yang terjadi, menjadikan beliau menjdi lambang hati nurani bangsa dan pengikutnya. Abu Yusuf dalam membenahi system perekonomian, ia membenahi mekanisme ekonomi dengan jalan membuka jurang pemisah antara kaya dan miskin. Ia memandang bahwa masyarakat memiliki hak dalam campur tangan ekonomi, begitu juga sebaliknya pemerntah tidak memiliki hak bila ekonomi tidak adil. Oleh karenanya ada dua hal pokok penting yang dilakukan Abu Yusuf. Pertama, menentukan tingkat penetapan pajak yang sesuai dan seimbang, dalam upaya menghindari Negara dari resesi ekonomi. Kedua, pengaturan pengeluaran pemerintah sesuai dengan kebijakan umum. Menurutnya dari beberapa yang perlu dibenahi, diantaranya Income, Expenditure, dan mekanisme pasar. Untuk mewujudkannya beliau mengambil langkah sebagai berikut:
- 1. Menggantikan sistem wazifah dengan sistem muqasamah
Wazifah adalah system pemungutan pajak yang ditentukan berdasarkan pada nilai tetap, tanpa membedakan ukuran kemampuan wajib pajak atau mungkin dapat dibahasakan dengan pajak-pajak yang dipungut dengan ketentuan jumlah yang sama secara keseluruhan. Sedangkan muqasamah adalah system pemungutan pajak yang diberlakukan berdasarkan nilai yang tidak tetap (berubah) dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan dan persentase penghasilan atau pajak proporsional. Penggantian system ini diakukan dalam rangka mencpai ekonomi yang adil. Berkaitan dengan ini Abu Yusuf mengatakan; Saya mendapat pertanyaan mengenai pajak dan pengumpulannya di Sawad. Saya mengumpulkan pendapat orang-orang di lapangan dan mendiskusikan permasalahan tersebut bersama mereka, dan tak satupun yang gagal dalam pelaksanaanya, kemudian saya menanyakan tentang kharaj yang ditetapkan (tauzif) oleh umar bin Khatab, dan tentang kapasitas tanah yang dikenai pajak (wazifah) mereka (orangorang yang dikumpulkan untuk bermusyawarah) tersebut mengungkapkan, bahwa belakangan ini tanah-tanah subur lebih banyak dibandingkan dengan tanah-tanah yang tidak subur, dan mereka juga mengungkapkan banyaknya tanah sisa yang tidak dikerjakan (nonproduktif) dan sedikitnya tanah garapan yang digunakan sebagai subyek kharaj.
Menurut pandangan mereka, jika tanah yang tidak digarap yang kami miliki akan dikenakan kharaj seperti halnya tanah garapan yang subur, maka kami tidak akan bisa mengerjakan tanah atau lahan-lahan yang ada sekarang, lantaran ketidakmampuan kami untuk membayar kharaj terhadap tanah yang non-produktif tersebut, dan jika tanah tersebut tidak dikelola dalam waktu seratus tahun, maka ia tetap akan menjadi subyek kharaj atau tetap tidak akan pernah digarap selamanya, dan jika memang demikian halnya maka bagi orang-orang yang menggarap tanah ini untuk keperluan sehari-hari tidak bisa dikenai kharaj. Konsekuensinya, saya menyadari bahwa biaya yang tetap dalam bentuk barang (tha’am) atau uang (dirham) tidak diberlakukan kepada orang-orang disamping keadaan mereka yang tidak memungkinkan, juga tidak mempunyai keuntungan yang dapat disumbangkan kepada pemerintah, terutama dalam membayar pajak. Dari uraian Abu Yusuf di atas, maka ada beberapa point penting yang bisa diambil, pertama Abu Yusuf telah sukses mengadakan penelitian di lapangan, dengan mengetahui beberapa problematika pajak dan perekonomian masyarakat. Kedua, adanya musyawarah sebagai tindak lanjut survey yang berwujud keberatan masyarakat terhadap pembebanan pajak tanah yang tidak subur dan non-produktif, serta usulan pembedaan pajak tanah subur dan tidak subur. Ketiga, tanggapan poisitif Abu Yusuf tentang tidak dikenakannya pajak penggarapan tanah untuk keperluan sehari-hari.
- 2. Membangun fleksibilitas sosial
Problematika muslim dan non-muslim juga tidak lepas dari pembahasan Abu Yusuf, yaitu tentang kewajiban warga negara non-Muslim untuk membayar pajak. Abu Yusuf memandang bahwa warga Negara sama dihadapan hukum, sekalipun beragama non-Islam. Dalam hal ini Abu Yusuf membagi tiga golongan orang yang tidak memiliki kapasitas hukum secara penuh, yaitu Harbi, Musta’min, dan Dzimmi. Kelompok Musta’min dan Dzimmi adalah kelompok asing yang berada di wilayah kekuasaan Islam dan membutuhkan perlindungan keamanan dari pemerintah Islam, serta tunduk dengan segala aturan hukum yang berlaku. Perhatian ini diberikan Abu Yusuf dalam rangka memberi pemahaman keseimbangan dan persamaan hak dan juga mekanisme penetapam pajak jiz’ah. Pembayaran jiz’ah oleh non-muslim, bukanlah sebagai hukuman atas ketidakpercayaan mereka terhadap Islam, sebab hal iti bertentangan dengan al-Qur’an (2): 256 ; tidak ada paksaan dalam agama. Jiz’ah tidak diberlakukan bagi perempuan, anak-anak, orang miskin dan kalangan tidak mampu. Bagi yang tidak mampu membayar, mereka juga wajib dilindungi dan disantuni.
Berkaitan dengan jiz’ah ini, Abu Yusuf secara khusus membahasnya yang ditujukan kepada Harun al-Rasyid. Beliau mengatakan “siapa saja yang memaksa warga yang bukan muslim, atau meminta pajak kepada mereka di luar kemampuannya, maka aku termasuk golongannya. Jiz’ah, jika dihadapkan pada konteks realitas social ekonomi masyarakat, maka pertimbangan persentase berdasarkan pendapat Abu Yusuf di atas kiranya lebih mengarah pada tingkat keseimbangan dan nilai-nilai keadilan yang manusiawi. Hal ini dilakukan sebagai ukuran material dan kemampuan masyarakat dalam menunaikan kewajibannya sebagai warga Negara. Pemahaman fleksibilitas yang dibangun Abu yusuf juga terlihat dari
sikapnya yang toleran pada non-Muslim dalam memberi izin melakukan transaksi perdagangan di wilayah kekuasaan Islam.
Hal lain, yang dilakukan Abu Yusuf adalah menolak pendapat yang melarang pedagang Islam untuk berdagang di wilayah Dar al_harbi. Hal ini dilakukan guna membuka peluang untuk kontribusi bagi pembangunan dan penyebaran tekhik perdagangan ke seluruh dunia, seperti Cina, Afrika, Asia Tengah, Asia Tenggara dan Turki. Dari sikap Abu Yusuf di atas, terlihat bahwa ia memperhatikan hubungan baik antar Negara, pengembangan ekonomi perdagangan, serta upaya mensikapi perekonomian masyarakat sebagai antisipasi jika terjadi krisis kebutuhan pokok.
- 3. Membangun system politik dan ekonomi yang transparan
Menurut Abu Yusuf pembangunan system ekonomi dan politik, mutlak dilaksanakan secara transparan, karena asas transparan dalam ekonomi merupakan bagian yang paling pentig guna mencapai perwujudan ekonomi yang adil dan manusiawi. Pengaturan pengeluaran negara, baik berkait dengan Insidental Revenue maupun Permanen Revenue dijelaskan secara transparan pengalokaisannya kepada masyarakat, terutama kaitannya dengan fasilitas publik. Transparansi ini terwujud dalam peran dan hak asasi masyarakat dalam menyikapi tingkah laku dan kebijakan ekonomi, baik yang berkenaan dengan nilai keadilan, kehendak bebas, keseimbangan, dan berbuat baik. Hal ini nampak ketika ia ia memeta income negara yang meliputi ghanimah dan fai’ sebgai pemasukan yang sifatnya insidental revenue , sementara kharaj, jiz’ah, ushr, dan zakat sebagai pemasukan yang sifatnya permanen revenue.
- 4. Menciptakan system ekonomi yang otonom
Untuk mewujudkan visi ekonominya, Abu Yusuf menciptakan system ekonomi yang otonom (tidak terikat dari intervensi pemerintah). Perwujudannya nampak dalam pengaturan harga yang bertentangan dengan hukum supply and demand. Namun ia nenyangkal pernyataan terbalik tersebut. Baginya banyak dan sedikitnya barang tidak dapat dijadikan tolok ukur utama bagi naik dan turunnya harga, tapi ada kekuatan lain yang lebih menentukan. Hal ini didasarkan pada beberapa hadits yang termaktub dalam kitabnya. Abu Yusuf berkata, diriwayatkan dari Abd ar-Rahman bin Abi Laila, dari Hikam bin ‘utaibah yang menceritakan bahwa pada masa Rasulullah harga pernah melambung tinggi dan mereka meminta Rasulullah membuat ketentuan yang mengatur hal ini. Rasulullah berkata tinggi dan rendahnya harga barang merupakan bagian dari keterkaitan dengan keberadaan Allah, dan kita tidak bisa mencampuri terlalu jauh bagian dari ketetapan itu.
Dalam bagian yang sama, Abu Yusuf juga mengungkapkan bahwa beliau meriwayatkan hadits dari Tsabit abu hamzah al-yamani, dari salam bin abi ja’ad yang mengatakan bahwa sebagian masyarakat mengadu kepada Rasulullah dan meminta agar Ia membuat ketentuan yang mengatur tentang hal penetapan harga, maka Rasulullah bersabda “sesungguhnya urusan tinggi dan rendahnya harga suatu barang punya kaitan erat dengan kekuasaan Allah. Aku berharap dapat bertemu dengan Tuhanku di mana salah seorang diantara kalian tidak akan membuatku karena kedzaliman. Hadits di atas diikuti lagi dengan hadits berikutnya yang diriwayatkan oleh Sufyan bin Uyainah, dari Ayub, dari Hasan, beliau berkata. Pada masa Rasulullh pernah terjadi kenaikan harga secara mendadak, para shahabat berkata wahai Rasulullah SAW kami berharap agar engkau menetukan harga untuk kita, Rasul menjawab: Allah itu sesungguhnya adalah penentu harga, penahan, pencurah serta pemberi rizki. Aku berharap dapat menemui Tuhanku dimana salah seorang dari kalian
tidak menuntutku karena kedzaliman dalam hal darah dan harta.
Menurut Abu Yusuf, sistem ekonomi Islam mengikuti prinsip mekanisme pasar dengan memberikan kebebasan yang optimal bagi para pelaku di dalamnya, yaitu produsen dan konsumen. Jika, karena sesuatu hal selain monopoli, penimbunan atau aksi sepihak yang tidak wajar dari produsen terjadi kenaikan harga, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi dengan mematok harga. Penentuan harga sepenuhnya diperankan oleh kekuatan permintaan dan penawaran dalam ekonomi. Abu Yusuf menentang penguasa yang menetapkan harga hasil panen yang berlimpah bukan alasan untuk menurunkan harga panen dan sebaliknya kelangkaan tidak mengakibatkan harganya melambung. Fakta di lapangan menunjukan bahwa ada kemungkinan kelebihan hasil dapat berdampingan dengan harga yang tinggi dan kelangkaan dengan harga yang rendah. Kekuatan utama pemikiran Abu Yusuf adalah dalam masalah keuangan publik. Terlepas dari prisnip-prinsip perpajakan, dan rakyatnya, ia memberikan beberapa saran tentang cara cara mend patkan sumber pembelanjaan seperti untuk pembangunan jembatan, dan bendungan, serta menggali saluransaluran besar maupun kecil.